Tertawa merupakan puncak kegembiraan, titik tertinggi keceriaan, ujung rasa suka cita. Namun tertawa tersebut adalah yang berlebihan sebagaimana dikatakan pepatah, "Janganlah engkau banyak tertawa, sebab banyak tertawa itu mematikan hati". Jika tidak mampu tertawa kita bisa tersenyum, dikatakan juga dalam hadits Rasulullah Saw. yang berbunyi, "Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah"(HR. Tirmidzi). Senyuman tak akan ada harganya bila tidak terbit dari hati yang tulus dan tabiat dasar seorang manusia.
Andai saja disuruh memilih antara harta yang banyak atau kedudukan yang tinggi dengan jiwa yang tenteram, damai, dan selalu tersenyum, pastilah kita memilih yang kedua. Sebab, apa artinya harta yang banyak bila wajah selalu cemberut? Apa artinya harta yang banyak bila jiwa selalu cemas? Apa artinya semua yang ada di dunia ini, bila perasaan selalu sedih seperti orang yang usai mengantar jenazah kekasihnya? Apa arti kecantikan seorang istri jika selalu cemberut dan hanya membuat rumah tangga menjadi neraka saja? Tentu saja seorang istri yang tidak terlalu cantik akan seribu kali lebih baik jika dapat menjadikan rumah tangga senantiasa laksana surga yang menyejukkan setiap saat.
Ada jiwa yang dapat membuat setiap hal terasa berat dan sengsara. Tapi, ada pula jiwa-jiwa yang mampu membuat setiap hal menjadi sumber kebahagiaan. Hidup ini adalah seni bagaimana membuat sesuatu. Dan seni harus dipelajari serta ditekuni. Banyak orang yang tidak mampu melihat indahnya kehidupan ini. Mereka hanya membuka matanya untuk harta semata. Padahal harta tidak sepenuhnya membeli kebahagiaan. Oleh karena itu, hidup yang hanya sebentar dan sebagai tempat persinggahan ini harus kita jadikan sebagai ajang mencari keridhaan Allah dan memberi manfaat ke orang banyak dan lingkungan kita. Karena kita sukses untuk menyukseskan. (diadaptasi dari Novel La Tahzan)
@hendraahong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar