Sudah 'HALAL' kah bisnis Anda?

Bisnis dalam pandangan islam adalah suatu yang dihalalkan dan sangat dianjurkan. Bisnis bahkan dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. dan Para Sahabat di zaman dahulu. Banyak sahabat Rasulullah yang merupakan para pebisnis dan dari hartanya tersebut dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi perkembangan islam. Islam memperbolehkan bisnis asalkan tidak mengarah kepada riba, judi, penyediaan produk atau layanan yang mengandung barang-barang haram.

Bisnis yang menjual produk-produk halal tidak menjamin bisnis tersebut menjadi bisnis yang halal, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam proses berbisnis sehingga menjadi bisnis yang halal. Bisnis menurut tuntunan islam pada dasarnya sama dengan bisnis secara umum, hanya saja harus tunduk dan patuh pada peraturan yang terdapat di Al-Qur’an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas (Ijtihad) serta memperhatikan batasan-batasan yang tertuang dalam sumber-sumber tersebut. Ada beberapa ayat di dalam Al Qur’an yang berbicara mengenai bisnis, diantaranya: Al-Baqarah ayat 282, An-Nisaa ayat 29, At-Taubah ayat 24, An-Nur ayat 37, Fatir ayat 29, As-Shaff ayat 10, dan Al-Jum’ah ayat 11.

Dalam islam, ada beberapa nilai dasar yang melandasi bagaimana seorang pelaku bisnis bertindak secara etis baik terkait dengan penjual, pernbeli, harga, barang, investasi, maupun aspek yang lain. Berikut ini adalah uraiannya:
  • Penggunaan Timbangan atau Ukuran yang Benar. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an surah Asy-Syu'ara ayat 181-183, yang artinya "Sempurnakanlah takaran, dan janganlah kamu termasuk orang yang merugikan." Hal tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk pedagang-pedagang di pasar yang menjual produknya menggunakan alat timbangan, tetapi juga berlaku untuk bisnis lain, seperti bisnis di bidang kuliner, pelaku bisnis harus membuat Standard Operating Procedure (SOP), sehingga produk yang disajikan ke pelanggan sama kuantitas dan kualitasnya. Selain itu, unsur kebersihan dari awal produksi hingga akhir juga harus diperhatikan agar produk yang dikonsumsi pelanggan dapat membawa maslahah.
  • Penimbunan Barang dan Manipulasi Harga. Berdosa bagi orang yang menimbun barang, karena motif serakah. Hal tersebut tertuang dalam Hadist Riwayat Muslim, “Dari Ma’mar bin Abdillah yang diterima dari Rasulullah Saw, Beliau bersabda: “Tidaklah menimbun barang kecuali orang yang berdosa”. Mengenai manipulasi harga untuk meningkatkan keuntungan, Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili berpendapat pada dasarnya islam tidak memiliki batasan atau standar baku tentang pengambilan laba atau keuntungan. Pedagang bebas menentukan laba yang diinginkan dari suatu barang. Hanya saja, keuntungan yang berkah adalah keuntungan yang tidak melebihi sepertiga harga modal. Syaikh Fauzan bin Shalih al-Fauzan juga berpendapat, tidak ada batas keuntungan yang boleh diambil dalam penjualan. Karena Allah ta’ala menghalalkan jual beli tanpa mengkaitkannya dengan batas keuntungan tertentu. Sementara menurut Ibnu Arabi, meskipun penjual diperbolehkan mengambil keuntungan tanpa batasan tertentu, namun biasanya tidak terlalu besar. Terlebih lagi jika kondisi pembeli tidak mengetahui harga pasar. Ibnu ’Arabi mengategorikan hal tersebut dengan orang yang makan harta orang lain dengan jalan yang tidak benar, di samping itu juga masuk dalam kategori penipuan. 
  • Pemalsuan Produk. Secara tegas, islam melarang segala bentuk kecurangan, penipuan, pemalsuan, dan berbagai tindakan merugikan dalam transaksi atau bisnis, baik ketika menjual maupun membeli. Seorang pengusaha muslim tentunya harus jujur setiap saat. Pemalsuan produk saat ini sering kita temui pada penjualan alat elektronik, terutama smartphone.
  • Sumpah Palsu dan Jual Beli Tanpa Menjelaskan Aib Pada Barang. Sumpah palsu yang dilakukan dalam rangka meyakinkan Calon pembeli adalah dilarang islam (berdosa). Jual beli barang elektronik bekas melalui media internet sering timbul masalah antara penjual dan pembeli pasca transaksi. Kekurangan produk yang diklaim pembeli ke penjual pasca pembelian sering disangkal oleh penjual. Alangkah baiknya, sebagai muslim kita menjual produk kita mengikuti tuntunan syariah islam.
  • Perdagangan Barang Curian. Dalam islam, seorang pengusaha muslim dilarang membeli atau menadah barang curian, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk dijual kembali. Sanksi tindakan membeli atau menadah barang curian secara sadar adalah sama dengan sanksi terhadap kejahatan perampokan. Etika islam tidak membenarkan yang haram menjadi halal. Dalam kasus bisnis barang curian, pemilik asli barang yang dicuri tetap masih berhak atas barang tersebut. Hadits Nabi Muhammad Saw. menegaskan, "Barang siapa membeli dengan sadar (mengetahui) barang curian, maka ia akan memperoleh dosa sama dengan mencuri".
  • Bunga atau Riba. Islam memang mendorong pengusaha untuk memperbesar modal melalui bisnis atau perdagangan. Namun secara tegas, juga melarang upaya pembesaran atau penambahan modal melalui praktek peminjaman berbunga (lending on interest) (Antonio, 1997: 50). Secara yuridis, riba mutlak dilarang. Tiada biaya bagi waktu atau kesempatan untuk meminjamkan uang dalam islam. Riba dapat meningkatkan kesenjangan antara si kaya (orang yang meminiamkan uang) dengan si miskin (orang yang meminjam uang). Islam mendorong terjadinya sirkulasi kekayaan. Allah Swt. menegaskan bahwa,"Allah telah menghalalkan jual dan mengharamkan riba" (QS. 2: 275). Dosa atas tindakan riba, dipikul oleh semua pihak yang terlibat dalam bisnis atau transaksi riba.
Islam menempatkan bisnis sebagai cara terbaik untuk mendapatkan harta. Karenanya, segala kegiatan bisnis harus dilakukan dengan cara-cara terbaik dengan tidak melakukan kecurangan, riba, penipuan, dan tindakan kezaliman lainnya. Kesadaran terhadap pentingnya etika dalam bisnis merupakan kesadaran tentang diri sendiri dalam melihat dirinya sendiri ketika berhadapan dengan hal baik dan buruk, yang halal dan yang haram.

Ada hal yang masih mengganjal di pikiran penulis, yaitu dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 275 di tegaskan bahwa "Allah telah menghalalkan jual dan mengharamkan riba". Selain itu, Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Intersat/Fa'idah) menyatakan bahwa "Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya". Dari hasil keputusan itu bagaimanakah status bisnis yang melakukan praktek peminjaman berbunga (lending on interest) untuk menambah modal usahanya? Apakah itu berarti produk yang dihasilkan menjadi haram? Apakah selama ini kita sudah mengkonsumsi produk halal yang 'haram' karena bisnis tersebut mengambil kredit di bank konvensional? 

Wallahu a’lam bissawab

Penulis:

Hendra Halim
(Mahasiswa Master di Prodi Ekonomi Syariah UIN Ar-Raniry, Banda Aceh)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Terbesar Orang Tua adalah Anaknya yang Menjadi Imam Shalat Jenazahnya

Wanita Tidak Selalu Benar - Pria Pun Ingin Dimengerti

Kalau mau cari suami yang hebat, cari di mesjid pada waktu subuh