Bantuan Non-muslim di Negeri Syariah
Salah satu bencana alam yang menjaring banyak bantuan dari luar negeri adalah bencana tsunami yang terjadi di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 silam. Ada 56 negara turut membantu bencana Aceh. Di antaranya Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang, Rusia, Prancis, Tiongkok, Belanda, Portugal, Denmark, Swedia, Swiss, Republik Ceko, Slovakia, Italia, Finlandia, Malaysia, Oman, Turki, Belgia, Norwegia, Australia, Selandia Baru, Singapura, India, Banglades, Qatar, Arab Saudi, dan lainnya. Sebagai tanda terima kasih Aceh kepada seluruh negara yang telah memberikan bantuan pasca bencana tsunami, maka di bangunlah Monumen Thanks To The World yang terletak di Blang Padang, Banda Aceh.
Data UNOCHA (United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs) yang dikutip Reza Akbar Felayati dalam esainya di Jurnal Hubungan Internasional (Tahun IX, No. 1, Januari-Juni 2016), "Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004-2010 setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004", korban meninggal di Aceh mencapai 130.736 jiwa dan lebih dari 500 ribu penduduk kehilangan tempat tinggal. Masih menurut jurnal tersebut, total perkiraan dan kerugian dari bencana Aceh mencapai 4,45 miliar dolar AS atau sekitar Rp 41,4 triliun. Dunia internasional menjanjikan bantuan untuk rekonstruksi dan pembangunan sebesar 7,2 miliar dolar AS. Sejumlah negara, lembaga internasional, maupun masyarakat sipil menggalang bantuan kemanusiaan bagi Aceh.
Hal tersebut sangat membantu masyarakat Aceh dalam proses pemulihan pasca bencana. Tulisan saya kali ini membahas mengenai bantuan sosial dari non-muslim dari sisi ekonomi syariah. Ada beberapa hadist yang menyatakan kebolehan menerima bantuan atau hadiah dari non-muslim, diantaranya:
Ali bin Abi Thalib RA meriwayatkan, bahwa Kisra [Raja Persia] pernah memberi hadiah kepada Rasulullah Saw. lalu beliau menerimanya. Kaisar [Raja Romawi] pernah pula memberi hadiah kepada Rasulullah SAW lalu beliau menerimanya. Para raja (al-muluuk) juga memberi hadiah kepada beliau lalu beliau menerimanya. (HR Ahmad dan At-Tirmidzi, dan dinilai hadits hasan oleh Imam At-Tirmidzi) (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1172).
Rasulullah SAW pernah menerima hadiah dari para raja non muslim. Antara lain dari Raja Dzi Yazan (HR Abu Dawud), dari Akidar pemimpin Dumatul Jandal (HR Bukhari dan Muslim), dari Farwah al-Judzamiy (HR Muslim), dan sebagainya. (Imam Syaukani).
Selain itu, ada hadist yang membolehkan muslim bermuamalah dengan non-muslim. Nabi SAW pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi. Berdasarkan hadits ini, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata,”Dalam hadits ini ada kebolehan bermuamalah dengan mereka [non muslim]…” (Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ahkam Ahl Adz-Dzimmah, Juz I hal. 204).
Hadits-hadits tersebut menunjukkan bolehnya seorang muslim menerima bantuan atau hadiah dari non-muslim. Jadi apabila non-muslim memberikan bantuan berupa uang, baju, obat-obatan, makanan, atau minuman untuk kemudian disalurkan kepada kaum muslimin yang menjadi korban bencana alam maka kita boleh menerimanya. Tetapi, tetap harus memberhatikan kehalalan dari produk yang diberikan tersebut.
Apabila bantuan atau sumbangan tersebut diberikan di saat tidak ada bencana di daerah tersebut? Seperti bantuan membangun lembaga pendidikan, mesjid, dan lain sebagainya? Dalam menerima bantuan seperti ini, kaum muslimin harus lebih jeli melihat maksud bantuan tersebut. Jika sumbangan non-muslim tersebut menjadi sarana untuk memperkokoh atau menyebarkan syiar-syiar agama mereka, maka hukumnya haram (Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ahkam Ahl Adz-Dzimmah, Juz I hal. 224).
Jika demikian halnya, hukumnya haram menerima sumbangan non-muslim. Kaidah fiqh menyebutkan, “al-wasilah ila al-haram haram” (segala perantaraan yang membawa pada yang haram, hukumnya haram juga) (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, Juz III hal. 440).
Tidak dibolehkan menerima sumbangan dari non-muslim dalam kegiatan memakmurkan mesjid (‘imaratul masjid), baik yang terkait dengan aspek fisiknya (seperti memperbaiki kerusakannya, memasang sajadah, memasangi lampu) maupun yang terkait dengan berbagai ketaatan di dalamnya (seperti shalat, dzikir, pengajian). Semua ini wajib dibiayai oleh muslim saja, tidak boleh menerima dana dari non-muslim. Sebab non-muslim tidak dibenarkan memakmurkan mesjid sesuai firman Allah Swt. di Surah At-Taubah ayat 17 yang berbunyi:
مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ ۚ أُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ
Artinya:
"Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka."
Lalu, apakah kita dapat menerima bantuan dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dalam pembangunan kembali kampus Akademi Komunitas Negeri (AKN) Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh yang hancur akibat gempa bumi yang terjadi 7 Desember 2016 lalu?
sumber: http://aceh.tribunnews.com/2018/02/12/budaya-tionghoa-warnai-peletakan-batu-pertama-bangunan-akademi-komunitas-negeri-di-pidie-jaya |
Pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Pidie Jaya (Said Mulyadi, Wakil Bupati Pidie Jaya) mengungkapkan bahwa bukan yayasan budha yang dibangun, tapi yayasan itu membantu pembangunan kampus AKN, dan di kampus itu nantinya tidak akan ada mata kuliah sedikitpun yang melenceng dengan syariat Islam. (aajn.net)
Tetapi masyarakat khawatir akan adanya maksud-maksud lain dari bantuan yayasan tersebut, seperti memasukkan unsur-unsur yang tidak sesuai dengan ajaran islam yang telah diterapkan di Negeri Serambi Mekah ini. Kita berharap kepada semua pihak yang berwenang, yaitu pemerintah dan ulama dapat mengambil keputusan terbaik sesuai dengan tuntunan Syariah Islam.
Bagaimana pendapat pembaca dengan bantuan tersebut?
Penulis:
Hendra Halim
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Ekonomi Syariah
UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Komentar
Posting Komentar